Hadits Badal Umroh

Kumpulan Hadits Badal Umroh yang Shahih dan Sumbernya

Ada beberapa hadits badal umroh shahih yang menjadi landasan kuat diperbolehkannya mewakilkan pelaksanaan ibadah mulia ini.

Memang, beberapa riwayat secara eksplisit hanya menyebutkan tentang badal haji. Akan tetapi, para ulama sepakat kebolehan ini berlaku juga untuk umroh.

Mari simak bersama kumpulan hadits yang selama ini menjadi dasar pelaksanaan badal umroh.

Hadits Badal Umroh yang Sering Dijadikan Dalil

Berikut ini adalah beberapa hadits yang sering menjadi rujukan para ulama dalam menetapkan kebolehan pelaksanaan badal umroh:

1. Kebolehan Badal Umroh Bagi yang Tidak Mampu Fisik

Suatu hari, seorang sahabat bernama Abu Razin Al-‘Uqaili mendatangi Nabi Muhammad SAW.

Sahabat ini menceritakan kondisi ayahnya. Ayahnya sudah sangat tua renta.

Karena usianya, sang ayah tidak mampu lagi secara fisik untuk berangkat haji maupun umroh. Ia juga tidak kuat melakukan perjalanan jauh.

Mendengar penuturan tersebut, Rasulullah SAW memberikan jawaban yang jelas. Beliau bersabda agar Abu Razin melaksanakan haji dan juga umroh untuk ayahnya. (HR Tirmidzi No. 852)1

Hadits badal umroh Abu Razin ini menyebutkan haji dan umroh. Ini menjadi dalil kuat bahwa membadalkan umroh bagi orang yang tidak mampu secara fisik (uzur) diperbolehkan dalam syariat.

2. Syarat Badal Umroh Harus Pernah Umroh

Riwayat lain datang dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah SAW pernah mendengar seorang lelaki mengucapkan talbiyah untuk orang lain.

Lelaki itu bertalbiyah, “Labbaika ‘an Syubrumah”. Nabi SAW lantas bertanya siapa Syubrumah itu.

Lelaki itu menjawab bahwa Syubrumah adalah kerabatnya. Kemudian, Nabi SAW bertanya lagi, “Apakah kamu sudah pernah berhaji untuk dirimu sendiri?”

Lelaki itu menjawab, “Belum.” Maka, Rasulullah SAW memberikan instruksi tegas. Beliau bersabda, “Jadikanlah haji ini untuk dirimu, lalu (pada haji berikutnya) berhajilah untuk Syubrumah.” (HR Ibnu Majah No. 2894)2

Hadits inilah yang menjadi dasar penting mengenai salah satu syarat badal, yakni seseorang yang hendak membadalkan umroh orang lain harus sudah pernah menunaikan ibadah tersebut untuk dirinya sendiri terlebih dahulu.

3. Badal Umroh untuk Orang yang Telah Meninggal Dunia

Hadits badal umroh yang diriwayatkan Imam Bukhari ini juga menjadi salah satu rujukan umum. 

Kisahnya tentang seorang wanita dari suku Juhainah yang datang kepada Nabi SAW.

Wanita tersebut bercerita tentang ibunya. Sang ibu semasa hidupnya pernah bernazar untuk melaksanakan ibadah haji.

Akan tetapi, sang ibu meninggal dunia sebelum sempat menunaikan nazar hajinya tersebut. Wanita itu pun bertanya kepada Nabi SAW, “Apakah aku boleh berhaji atas namanya (ibunya)?”

Nabi SAW menjawab, “Iya, berhajilah atas namanya.” Beliau kemudian memberikan perumpamaan yang sangat jelas.

Nabi bersabda, “Apa pendapatmu andai ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan melunasinya? Tunaikan hak Allah karena hak Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” (Shahih Bukhari No. 1852)3

Kewajiban nazar haji seperti yang diriwayatkan seperti utang yang perlu dilunasi. Hal ini berlaku juga untuk umroh.

4. Badal Umroh Bagi Orang Tua yang Masih Hidup Tapi Uzur

Ketika Al-Fadl bin Abbas sedang membonceng Rasulullah SAW. Saat itu, datang seorang wanita dari suku Khats’am. Wanita tersebut meminta fatwa kepada Rasulullah SAW.

Ia menjelaskan bahwa kewajiban haji dari Allah telah datang atas hamba-Nya. Namun, ayahnya sudah dalam kondisi tua renta.

Ayahnya bahkan tidak mampu lagi duduk tegak di atas kendaraan untuk perjalanan haji. Wanita itu lantas bertanya, “Apakah aku boleh menghajikannya?”

Rasulullah SAW pun menjawab dengan singkat dan jelas, “Ya.” (Shahih Muslim No. 1334)4

Maka dari itu, hukum badal umroh untuk orang yang masih hidup adalah boleh, tetapi khusus dalam kondisi udzur syar’i.

5. Hadits Badal Umroh Boleh Diwakilkan Siapa Saja

Seorang laki-laki dari Bani Khats’am datang menemui Nabi Muhammad SAW.

Pria ini bercerita bahwa ayahnya baru masuk Islam ketika usianya sudah sangat tua. Ayahnya tidak mampu lagi naik kendaraan untuk berhaji.

Pria itu bertanya, “Apakah aku boleh menghajikannya?” Nabi SAW lalu bertanya, “Apakah kamu anak tertuanya?” Pria itu menjawab, “Ya.”

Kemudian Nabi SAW memberikan analogi. Beliau bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika ayahmu memiliki hutang, lalu engkau membayarnya, apakah itu cukup sebagai gantinya?” Pria itu menjawab, “Ya.”

Maka, Nabi SAW pun bersabda, “Hajikanlah dia.” (Sunan Abu Dawud No. 1810)

Ulama berpendapat,5 sebagaimana utang harta boleh dibayarkan oleh siapa saja, baik kerabat maupun bukan, begitu pula dengan badal haji/umroh. Pelaksana badal tidak harus dari kalangan keluarga dekat.

Perlu Anda pahami bahwa mungkin ada perbedaan penomoran hadits badal umroh karena perbedaan sumber yang digunakan.6 Penting untuk merujuk sumber yang tepercaya untuk memastikan keakuratan informasi.

Referensi (terakhir diakses pada 10/4/2025):

  1. HR Tirmidzi No. 852. https://hadits.tazkia.ac.id/search/hadits?q=Tirmidzi+852 ↩︎
  2. HR Ibnu Majah No. 2894. https://hadits.tazkia.ac.id/search/hadits?q=Ibnu+Majah+2894 ↩︎
  3. Shahih Bukhari No. 1852. https://ismailibnuisa.blogspot.com/2020/01/shahih-al-bukhari-hadits-nomor-1852.html ↩︎
  4. Shahih Muslim No. 1334. https://sunnah.com/muslim%3A1334 ↩︎
  5. Pendapat ulama tentang Sunan Abu Dawud No. 1810. https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_umum/68 ↩︎
  6. Alasan penomoran hadits berbeda. https://www.youtube.com/watch?v=ChHL2iUOyY0 ↩︎